adf.ly

Kamis, 31 Mei 2012

Pengetahuan tentang al-Islam


Bismillahirahmaanirrahiim,
Alhamdulillah. Allahumma sholi ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘alii Muhammad kama sholaita ‘alaa ‘alii Ibrahim, Innaka hamidum majiid, Wa baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa ‘alii Muhammad kama barakta ‘alaa ‘alii Ibrahim, Innaka hamidum majiid. Amma ba’du.
I’tikaf
Kali ini pembahasannya mengenai I’tikaf. Apakah i’tikaf itu? I’tikaf definisi yang tepat adalah berdiam diri di masjid dengan maksud beribadah atau mendekatkan diri kepada Allah, yang dilakukan dengan sifat-sifat tertentu.
Rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam sering beri’tikaf di bulan Ramadhan sebagaimana hadits yang diriwayatkan di kitab shohih:
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
كان النبي صلى الله عليه وسلم يعتكف في كل رمضان عشرة أيام فلما كان العام الذي قبض فيه اعتكف عشرين يوما
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasanya beri’tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadlan. Maka ketika di tahun wafatnya, beliau beri’tikaf selama dua puluh hari” (HR. Al-Bukhari no. 2044).
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يعتكف العشر الأواخر من رمضان حتى توفاه الله
“Bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadlan hingga Allah mewafatkan beliau” (HR. Al-Bukhari no. 2026 dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa).
I’tikaf adalah salah satu alaman yang disunnahkan di bulan Ramadhan ini. Sebab di dalam i’tikaf seorang hamba benar-benar bersungguh-sungguh meninggalkan dunianya untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun masalah waktu, sesuai ijma’ para ulama tidak ada batasan. Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam pernah i’tikaf dimulai dari setelah shalat fajar. Umar juga pernah i’tikaf hanya semalam. Tidak ada batasan. Adapun i’tikaf berakhir ketika ia membatalkan dirinya.
Apa saja yang dilakukan ketika i’tikaf?
Pertanyaan ini mungkin terlintas bagi orang yang belum pernah beri’tikaf. Tentu saja yang dilakukan ketika i’tikaf adalah bertaqarrub kepada Allah, beribadah kepada-Nya, sehingga seolah-olah hanya ada Allah dan hamba tidak ada pihak ketiga. Mengasingkan diri dari kehidupan duniawi, dengan memperbanyak dzikir, sholat, membaca Al Qur’an dan banyak-banyak menghisab diri. Menghitung dosa-dosa yang telah dilakukan dan bertaubat dari dosa-dosa besar ataupun kecil. Sehingga setelah i’tikaf diharapkan seseorang itu bersih dari dosa. Bahkan ketika i’tikaf rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam membangun tenda untuk diri beliau, kemudian diikuti oleh istri-istri beliau, dan orang-orang lain, sampai akhirnya beliau memerintahkan untuk membongkar tenda-tenda.
Syarat beri’tikaf
1. Islam.
2. Berakal/Tamyiz.
3. Niat.
4. Tidak disyari’atkan melakukan i’tikaf selain di masjid, berdasarkan firman Allah ta’ala :

وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kamu campuri istri-istri kalian, sedangkan kamu dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187)
Pembatal-pembatal i’tikaf
1. Berhubungan suami istri
Hal ini berdasarkan firman Allah ta’ala :
وَلاَ تُبَاشِرُوهُنّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Dan janganlah kalian bercampur (berjima’) dengan istri-istri kalian sedangkan kalian dalam keadaan i’tikaf di dalam masjid” (QS. Al-Baqarah : 187).
Ibnul-Mundzir berkata :
وأجمعوا على أن المعتكف ممنوع من المباشرة. وأجمعوا على أن من جامع امرأته وهو معتكف عامدًا لذلك في فرجها أنه مفسدٌ لاعتكافه
”Para ulama telah bersepakat bahwasannya seseorang yang beri’tikaf terlarang untuk bercumbu. Dan para ulama pun telah bersepakat bahwa siapa saja yang menjima’i istrinya dengan sengaja di kemaluannya dalam keadaan orang tersebut sedang ber-i’tikaf, maka i’tikafnya tersebut batal” (Kitaabul-Ijma’ oleh Ibnul-Mundzir no. 133 dan 134, tahqiq dan ta’liq : Abu ’Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ’Utsman; Daarul-Atsar, Kairo, Cet. 1).
2. Keluar dari Masjid
Di antara petunjuk Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah bila beliau melakukan i’tikaf, maka beliau menyendiri di tempat i’tikafnya dan tidak masuk ke rumahnya (keluar dari masjid) kecuali karena hajat manusia yang sifatnya mendesak, seperti mandi apabila junub karena mimpi, buang hajat, dan lainnya.
عن عائشة قالت كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا اعتكف يدني إلي رأسه فأرجله وكان لا يدخل البيت إلا لحاجة الإنسان
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam apabila beliau beri’tikaf, beliau mencondongkan kepalanya dan aku menyisir rambutnya. [14] Tidaklah beliau masuk rumah kecuali karena hajat manusia” (HR. Muslim no. 297).
Ibnu Hazm berkata :
واتفقوا على أن من خرج من معتكفه في المسجد لغير حاجة ولا ضرورة ولا بر أمر به أو ندب اليه فان اعتكافه قد بطل
“Para ulama telah bersepakat bahwa sesungguhnya seseorang yang keluar dari tempat i’tikafnya di masjid tanpa ada satu keperluan, tanpa dlarurat, atau tidak karena kebaikan yang diperintahkan atau disunnahkan; maka i’tikafnya batal” (Maratibul-Ijma’ halaman 40).
Yang diperbolehkan pada saat i’tikaf
1. Keluar dari masjid untuk buang air
2. Keluar dari masjid untuk berwudu.
3. Mencondongkan badannya dari masjid keluar untuk menyisir rambut.
Tarawih
Tarawih di bulan Ramadhan sama saja artinya dengan sholat malam, sholat tahajud atau qiyamul lail. Sholat ini dilakukan setelah sholat isya’ atau setelah sholat ba’diyah Isya’, sebelum sholat witir. Sholat tarawih di bulan Ramadhan dilakukan dengan cara berjama’ah, sebagaimana sebuah hadits yang shohih.
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم خرج من جوف الليل فصلى في المسجد فصلى رجال بصلاته فأصبح الناس يتحدثون بذلك فاجتمع أكثر منهم فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في الليلة الثانية فصلوا بصلاته فأصبح الناس يذكرون ذلك فكثر أهل المسجد من الليلة الثالثة فخرج فصلوا بصلاته فلما كانت الليلة الرابعة عجز المسجد عن أهله فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم فطفق رجال منهم يقولون الصلاة فلم يخرج إليهم رسول الله صلى الله عليه وسلم حتى خرج لصلاة الفجر فلما قضى الفجر أقبل على الناس ثم تشهد فقال أما بعد فإنه لم يخف علي شأنكم الليلة ولكني خشيت أن تفرض عليكم صلاة الليل فتعجزوا عنها
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid. Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya. Maka berkumpullah kebanyakan dari mereka. Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat bersama beliau. Di pagi hari berikutnya, orang-orang memperbincangkannya kembali. Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah banyak. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam keluar dan melaksanakan shalatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam sebagaimana sebelumnya kecuali beliau hanya melaksanakan shalat shubuh. Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh, beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan bersabda : Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. (HR.Al-Bukhari no. 924 dan Muslim no. 761).
Dan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda ketika menekankan untuk berjama’ah ketika shalat tarawih :
إنه من قام مع الامام حتى ينصرف كتب له قيام ليلة
“Sesungguhnya barangsiapa shalat tarawih bersama imam (berjama’ah) sampai selesai, maka ditulis baginya sama dengan shalat semalam suntuk” (HR. Ibnu Abi Syaibah no. 5/226 no. 7777, Abu Dawud no. 1375, At-Tirmidzi no. 806, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1364, dan lainnya; ini adalah lafadh Ibnu Abi Syaibah. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/379-380).
Berapa raka’atkah shalat tarawih?
Jumlah raka’at shalat tarawih tidak lebih dari 13 raka’at. Artinya rasululloh shallallahu’alaihi wa sallam paling banyak melakukannya 13 raka’at. Dan beliau paling sedikit melakukannya 9 raka’at sebagaimana dalil-dalil yang shohih tentang hal ini.
Adapun yang melakukan sampai 23 raka’at atau sampai 43 raka’at maka sesungguhnya hal itu ada catatan khusus. Kalau diniatkan sholat tarawih, maka hal tersebut berlebihan. Sebab rasulullah sesuai tuntunan selalu melakukannya tidak lebih dari 13 raka’at. Adapun kalau tidak diniatkan sholat tarawih, maka sesuai dengan keumuman dalil sholat sunnah, maka itu adalah sholat sunnah biasa.
Rasululloh Shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya shalat sunnah itu dua dua (2 raka’at 2 raka’at)” [HR. Bukhari]
Namun ada yang berpendapat dengan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al Muwatha’:
Dari Yazid bin Ruman beliau berkata :
كان الناس يقومون في زمان عمر بن الخطاب في رمضان بثلاث وعشرين ركعة
“Manusia menegakkan (shalat tarawih) di bulan Ramadlan pada masa ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu 23 raka’at” (Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa’ no. 282).
Sanad hadits ini terputus (munqathi’) antara Ibnu Ruman dan ’Umar. Imam Al-Baihaqi berkata dalam Al-Kubraa : “Yazid bin Ruman tidak menemui masa Umar” (Nashbur-Rayah 2/154). Kesimpulannya : hadits ini lemah (dla’if).
Dari Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman dari Hakam dari Miqsam dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma berkata :
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي في رمضان عشرين ركعة
“Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat di bulan Ramadlan 20 raka’at dan witir” (HR. Thabarani dalam Mu’jamul-Ausath no. 802 dan dalam Al-Mu’jamul-Kabiir 3/148/2 no. 11934).
Imam Ath-Thabarani rahimahullah berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini kecuali Abu Syaibah dan tidaklah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas kecuali dengan sanad ini saja” (Al-Mu’jamul-Ausath 1/244). Dalam kitab Nashbur-Rayah (2/153) dijelaskan : “Abu Syaibah Ibrahim bin ‘Utsman adalah perawi yang lemah menurut kesepakatan, dan dia telah menyelisihi hadits yang shahih riwayat Abu Salamah, sesungguhnya beliau bertanya pada ‘Aisyah : Bagaimana shalat Rasulullah di bulan Ramadlan?. Syaikh Al-Albani rahimahullah menyatakan bahwa hadits ini palsu (maudlu’). (lihat Adl-Dla’iifah 2/35 no. 560 dan Irwaaul-Ghalil 2/191 no. 445).
Apa hukumnya sholat tarawih cepat?
Sering di lingkungan kita mendapati masjid atau mushalla shalat tarawihnya sangat cepat, bahkan di kampung saya sendiri saya sholat 11 raka’at di sebuah masjid dengan 23 raka’at di masjid yang lain. Masjid yang melakukan 23 raka’at selesai lebih dulu daripada yang 11 raka’at. Bahkan sesekali saya pernah mencoba untuk mengikuti yang 23 raka’at namun tidak sampai selesai. Saya mendapati bacaan imamnya sangat cepat bahkan untuk ruku’ dan sujud saja sangat cepat, yang setelah salam saya hanya dapati capek saja karena harus mengejar imam.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
لا تجزئ صلاة الرجل حتى يقيم ظهره في الركوع والسجود
“Tidak sah shalat seseorang hingga ia menegakkan (meluruskan) punggungnya ketika ruku’ dan sujud” (HR. Abu Dawud no. 855, An-Nasa’i no. 1027, At-Tirmidzi no. 265, dan Ibnu Majah no. 870; ini adalah lafadh Abu Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/241).
رأى رجلاً لا يتم ركوعه، وينقر في سجوده وهو يصلي، فقال: لو مات هذا على حاله هذه؛ مات على غير ملة محمد؛ [ينقر صلاته كما ينقر الغراب الدم]، مثل الذي لا يتم ركوعه وينقر في سجوده؛ مثل الجائع الذي يأكل التمرة والتمرتين لا يغنيان عنه شيئاً
“Beliau melihat seorang laki-laki yang tidak menyempurnakan ruku’-nya dan mematuk di dalam sujudnya ketika shalat. Kemudian beliau bersabda,”Sekiranya orang ini mati dalam keadaan seperti ini, niscaya ia mati bukan pada millah (agama) Muhammad [karena ia mematuk dalam shalatnya sebagaimana burung gagak mematuk darah]. Perumpamaan orang yang tidak menyempurnakan ruku’nya dan mematuk di dalam sujudnya seperti orang yang lapar makan satu buah kurma dan dua buah kurma yang tidak memberikan manfaat apa-apa baginya” (HR. Abu Ya’la dalam Musnad 340/1, 349/1; dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir 1/192/1 dengan sanad hasan. Lihat Ashlu Shifati Shalatin-Nabiyy oleh Syaikh Al-Albani halaman 642).
Maka selayaknyalah kaum muslimin tetap melaksanakan dengan khusyu’, thuma’ninah, dan sesuai dengan contoh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bagaimana riwayat-riwayat yang shahih tentang sholat tarawih dan witir?
Tiga belas raka’at, dua raka’at-dua raka’at yang diawali dengan dua raka’at ringan.
عن زيد بن خالد الجهني أنه قال لأرمقن صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم الليلة فصلى ركعتين خفيفتين ثم صلى ركعتين طويلتين طويلتين طويلتين ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم صلى ركعتين وهما دون اللتين قبلهما ثم أوتر فذلك ثلاث عشرة ركعة
Dari Zaid bin Khalid Al-Juhani ia berkata : “Aku akan mempraktekkan shalat malam Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau shalat dua raka’at ringan, lalu shalat dua raka’at yang sangat lama, demikian pula dua raka’at berikutnya dan sesudahnya. Lalu shalat dua raka’at tetapi lebih pendek dari sebelumnya, lalu shalat dua raka’at yang lebih pendek dari sebelumnya, kemudian shalat witir (tiga raka’at). Maka jumlahnya tiga belas raka’at (HR. Muslim no. 1284).
Tiga belas raka’at, delapan raka’at dilakukan dua-dua, lalu witir lima raka’at dengan duduk tasyahud di raka’at terakhir.
ان رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يرقد فإذا استيقظ تسوك ثم توضأ ثم صلى ثمان ركعات يجلس في كل ركعتين فيسلم ثم يوتر بخمس ركعات لا يجلس الا في الخامسة ولا يسلم الا في الخامسة
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa tidur malam, apabila bangun beliau bersiwak lalu berwudlu kemudian melakukan shalat delapan raka’at, salam setiap dua raka’at. Setelah itu beliau berwitir lima raka’at dengan duduk tasyahud dan salam pada raka’at yang kelima.” (HR. Muslim no. 737 dan Ahmad 6/123).
Sebelas raka’at, salam setiap dua raka’at, dan witir satu raka’at.
عن عائشة زوج النبي صلى الله عليه وسلم قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي فيما بين أن يفرغ من صلاة العشاء وهي التي يدعو الناس العتمة إلى الفجر إحدى عشرة ركعة يسلم بين كل ركعتين ويوتر بواحدة فإذا سكت المؤذن من صلاة الفجر وتبين له الفجر وجاءه المؤذن قام فركع ركعتين خفيفتين ثم اضطجع على شقه الأيمن حتى يأتيه المؤذن للإقامة
Dari ‘Aisyah istri Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam ia berkata : “Biasanya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melakukan shalat setelah isya’ – yang oleh orang-orang dinamakan dengan shalat ‘atamah – sampai menjelang fajar sebanyak sebelas raka’at, salam pada setiap dua raka’at dan witir satu raka’at. Apabila mu’adzin telah mengumandangkan adzan fajar, dan fajar telah nampak jelas dan muadzinpun telah hadir, maka beliau shalat dua raka’at ringan (yaitu shalat sunnah fajar) kemudian berbaring di sisi badan yang kanan sehingga muadzin datang mengumandangkan iqamat” (HR. Muslim no. 736).
Sebelas raka’at, empat raka’at-empat raka’at lalu witir tiga raka’at.
عن أبي سلمة بن عبد الرحمن أنه سأل عائشة كيف كانت صلاة رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان قالت ما كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يزيد في رمضان ولا في غيره على إحدى عشرة ركعة يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي أربعا فلا تسأل عن حسنهن وطولهن ثم يصلي ثلاثا Dari Abu Salamah bin Abdirrahman bertanya kepada ‘Aisyah :
“Bagaimana shalat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadlan ?”. Aisyah menjawab : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak pernah shalat di bulan Ramadlan maupun di bulan selainnya lebih dari sebelas raka’at. Beliau shalat empat raka’at, kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Setelah itu shalat empat raka’at dan kamu jangan menanyakan bagus dan panjangnya. Kemudian beliau shalat (witir) tiga raka’at [22]” (HR. Al-Bukhari no. 2013 dan Muslim no. 738; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Sebelas raka’at, delapan raka’at dengan tasyahud, tetapi tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti sembilan raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dan salam.
قلت يا أم المؤمنين أنبئيني عن وتر رسول الله صلى الله عليه وسلم فقالت كنا نعد له سواكه وطهوره فيبعثه الله ما شاء أن يبعثه من الليل فيتسوك ويتوضأ ويصلي تسع ركعات لا يجلس فيها إلا في الثامنة فيذكر الله ويحمده ويدعوه ثم ينهض ولا يسلم ثم يقوم فيصلي التاسعة ثم يقعد فيذكر الله ويحمده ويدعوه ثم يسلم تسليما يسمعنا ثم يصلي ركعتين بعدما يسلم وهو قاعد فتلك إحدى عشرة ركعة يا بني
Dari Sa’d bin Hisyam bin ‘Amir, ia berkata : “Wahai Ummul-Mukminin, kabarkan kepadaku tentang shalat witir Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam”. ‘Aisyah menjawab : “Kamilah yang mempersiapkan siwak dan air wudlu beliau. Bila Allah membangunkan beliau pada waktu yang dikehendaki di malam hari, beliau bersiwak dan berwudlu lantas shalat sembilan raka’at tidak duduk (tasyahud) kecuali pada raka’at kedelapan. Beliau berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian beliau bangkit dan tidak salam meneruskan raka’at kesembilan. Kemudian beliau duduk, berdzikir, memuji Allah, dan berdoa, kemudian salam dengan satu salam yang terdengar oleh kami. Setelah itu beliau shalat dua raka’at sambil duduk. Jadi jumlahnya sebelas raka’at wahai anakku. Ketika beliau telah tua dan gemuk, beliau berwitir tujuh raka’at, kemudian dua raka’at setelahnya dilakukan seperti biasa, maka jumlahnya sembilan wahai anakku” (HR. Muslim no. 746).
Sembilan raka’at, diantaranya enam raka’at, duduk tasyahud pada raka’at keenam namun tidak salam, kemudian bangkit satu raka’at dan salam (berarti tujuh raka’at). Kemudian shalat dua raka’at dengan duduk.
Dasarnya adalah hadits yang telah disebut sebelumnya (HR. Muslim no. 746).
Bacaan Qunut Witir
Bacaan qunut yang benar sesuai hadits yang shohih adalah
اللّهُـمَّ اهْـدِنـِيْ فِـيْمَنْ هَـدَيْـت، وَعَـافِنـِيْ فِـيْمَنْ عَافَـيْت، وَتَوَلَّـنِيْ فِـيْمَنْ تَوَلَّـيْت ، وَبَارِكْ لـِيْ فِـيْمَا أَعْطَـيْت، وَقِـنِيْ شَرَّ مَا قَضَـيْت، فَإِنَّـكَ تَقْـضِيْ وَلا يُقْـضَى عَلَـيْك ، إِنَّـهُ لا يَـذِلُّ مَنْ والَـيْت، [ وَلا يَعِـزُّ مَن عَـادَيْت ]، تَبَـارَكْـتَ رَبَّـنَا وَتَعَـالَـيْت
[Alloohummah-dinii fiiman hadait, wa’aafinii fiiman ‘aafait, watawallanii fiiman tawallait, wabaariklii fiimaa a’thoit, waqinii syarro maa qodloit. Fa-innaka taqdlii walaa yuqdloo ‘alaik, innahu laa yadzillu man waalait, walaa ya’izzu man ‘aadait, tabaarokta robbanaa wata’aalait]
“Ya Allah, berilah aku petunjuk sebagaimana orang yang telah Engkau beri petunjuk, berilah aku perlindungan (dari penyakit dan apa yang tidak disukai) sebagaimana orang yang telah Engkau lindungi, sayangilah aku sebagaimana orang yang telah Engkau sayangi. Berikanlah berkah terhadap apa-apa yang telah Engkau berikan kepadaku, jauhkanlah aku dari kejelekan apa yang telah Engkau telah taqdirkan. Sesungguhnya Engkau yang menjatuhkan hukum, dan tidak ada orang yang memberikan hukuman kepada-Mu. Sesungguhnya orang yang Engkau bela tidak akan terhina, dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi. Maha Suci Engkau, wahai Rabb kami yang Maha Tinggi” (HR. Abu Dawud no. 1425, At-Tirmidzi no. 464, Ibnu Majah no. 1178, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1446, dan Ahmad no. 1/200, dan Al-Baihaqi no. 4637; shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 2/172).
Bolehkah Witir 2 kali dalam 1 malam?
Mengerjakan witir dua kali dalam satu malam hukumnya adalah makruh berdasarkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam :
لا وتران في ليلة
“Tidak ada witir dalam satu malam” (HR. Abu Dawud no. 1439, At-Tirmidzi no. 470, dan An-Nasa’i dalam Al-Kubraa no. 1392, dan yang lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Abani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/396).
Shalat witir bisa dilakukan sebelum atau sesudah tidur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
من خاف أن لا يقوم من آخر الليل فليوتر أوله ومن طمع أن يقوم آخره فليوتر آخر الليل فإن صلاة آخر الليل مشهودة وذلك أفضل
“Barangsiapa yang merasa khawatir tidak bisa bangun pada akhir malam, maka hendaklah ia shalat witir pada awalnya (yaitu sebelum tidur). Dan barangsiapa yang mampu bangun di akhir malam, maka hendaklah ia shalat di waktu tersebut. Sesungguhnya shalat di akhir waktu malam disaksikan (oleh para malaikat). Dan itulah yang lebih utama” (HR. Muslim no. 755).
Zakat Fitrah
Zakat Fitrah yang dibayar manusia pada bulan Ramadhan adalah berupa makanan pokok. Hukumnya adalah wajib.
hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم فرض زكاة الفطر من رمضان على كل نفس من المسلمين
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan terhadap setiap orang dari kalangan muslimin” (HR. Muslim no. 984).
Setiap jiwa wajib membayar zakat Fitrah ini, berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى والصغير والكبير من المسلمين
“Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu sha’ tamr (kurma) atau satu sha’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan wanita dari kalangan umat muslimin” (HR. Al-Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
hadits dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصدقة الفطر عن الصغير والكبير والحر والعبد ممن تمونون
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan menunaikan zakat fithri untuk anak kecil, orang tua, orang merdeka, dan budak yang masuk dalam tanggungannya” (HR. Ad-Daruquthni no. 2078 dan Al-Baihaqi no. 7474 dengan sanad hasan).
Adapun kita di Indonesia, karena makanan pokok kita adalah nasi, maka berzakat dengan menggunakan beras. Adapun satu sha’ kira-kira setara dengan 2,5 kg beras. Wallahu’alam.
Yang berhak menerima zakat ini adalah orang-orang miskin, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang miskin” (HR. Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827, dan Al-Hakim no. 1488. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843).
Adapun untuk 8 golongan itu hanya untuk zakat maal, bukan zakat fitrah. Inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fataawaa (25/71-78) dan muridnya Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Zaadul-Ma’aad (2/44)
Wallahu’alam bishawab.
—sebagian diambil dari blog abul-jauzaa.blogspot.com dengan beberapa pengaturan tulisan.

Tidak ada komentar: